Mengenal Munir Said Thalib Sang Aktivis HAM

Picture of Redaksi

Redaksi

Mengenal Munir Said Thalib Sang Aktivis HAM
Mural wajah Munir Said Thalib

Jakarta, Faktual24 – Munir Said Thalib adalah aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) kelahiran 8 Desember 1965, Malang, Jawa Timur. Rabu, (24/08/22)

Munir menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB). Dia pernah menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum UB, Koordinator wilayah IV Asosiasi Mahasiswa Hukum Indonesia pada 1998.

Selain itu, Munir aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan, mulai dari Forum Studi Mahasiswa untuk Pengembangan Berpikir, Sekretaris Dewan Perwakilan Mahasiswa Hukum Unibraw, hinga anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Selepas kuliah, Munir semakin serius dalam dunia aktivisme dan mulai terlibat dalam beberapa advokasi kasus HAM. Karena itu, Munir banyak menanganai beragam kasus. Pada 1997-1998, dia menangani kasus penghilangan paksa 24 aktivis politik dan mahasiswa di Jakarta, kemudian menjadi penasihat hukum korban tragedi Tanjung Priok 1984, pembuhuhan aktivis buruh Marsinah pada 1994, kasus Araujo yang dituduh sebagai pemberontak karena melawan Pemerintah Indonesia untuk memerdekakan Timor Timur pada 1992, dan kasus pelanggaran HAM lainnya.

Berkat pembelaan berbagai kasus pelanggaran HAM tersebut, Munir memperoleh penghargaan The Rights Livelihood Award di Stockholm, Swedia, di bidang kemajuan HAM dan kontrol sipil terhadap militer pada tahun 2000.

Munir juga telah mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) bersama beberapa kawannya. Sampai hari ini, Kontras aktif melakukan advokasi bagi para korban kekerasan dan mereka yang hak asasinya dilanggar.

Sepak terjang Munir dalam penegakan HAM juga mendatangkan tekanan dan teror. Munir pernah mengaku merasa diikuti oleh orang tak dikenal dalam perjalanan pulang ke rumah. Pada 2002, beberapa orang tak dikenal menyerang kantor Kontras. Para perusuh itu merusak berbagai perlengkapan kantor dan merebut paksa dokumen-dokumen kasus pelanggaran HAM. Puncaknya, sebuah bom pernah meledak di pekarangan rumah Munir di Jakarta pada Agustus 2003. Rangkaian teror itu berujung pada pembunuhan Munir pada 7 September 2004.

Pembunuhan Terhadap Aktivis HAM

Aktivis HAM tersebut, meninggal dunia pada 7 September 2004.  Munir meninggal karena dibunuh di dalam pesawat saat terbang dari Jakarta ke Belanda dengan racun jenis arsenik. Kronologi pembunuhan terjadi saat Munir berencana melanjutkan pendidikannya ke Amsterdam, Belanda. Pada Senin, 6 September 2004, Munir menumpangi pesawat dengan nomor penerbangan GA-974, yang lepas landas dari Jakarta menuju Negeri Kincir Angin, Belanda.

Diberitakan harian Kompas, pada 8 September 2004, Munir sempat diduga sakit sebelum mengembuskan napas terakhirnya sekitar pukul 08.10 waktu setempat, dua jam sebelum mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam. Menurut kesaksian, setelah pesawat lepas landas dari transitnya di Bandara Changi, Munir sempat beberapa kali ke toilet dan terlihat seperti orang sakit. Dia mendapat pertolongan dari penumpang lain yang berprofesi sebagai dokter. Munir pun dipindahkan ke sebelah bangku dokter dan mendapat perawatan. Tak lama, Munir dinyatakan meninggal pada ketinggian 40.000 kaki di atas tanah Rumania.

Saat pesawat GA-974 mendarat di Belanda. Sesuai prosedur otoritas bandara, saat ada penumpang meninggal di dalam pesawat, para penumpang tidak diperbolehkan turun karena harus menjalani pemeriksaan selama 20 menit. Akhirnya, jenazah Munir diturunkan dan proses otopsi dilakukan untuk mencari tahu penyebab tewasnya penerima berbagai penghargaan terkait HAM di Indonesia itu.

Pada 12 September 2004, jenazah Munir dimakamkan di kota kelahirannya, Batu, Malang. Selanjutnya, Institut Forensik Belanda (NFI), mengungkapkan hasil otopsi jenazah Munir, yang meninggal dunia karena diracun dengan arsenikum.

Akhirnya, pada 19 Maret 2005, tim penyidik Mabes Polri baru menetapkan Pollycarpus Budihari Priyanto sebagai tersangka dan menahannya di Rumah Tahanan Mabes Polri. Setelah itu, putusan pengadilan menetapkan actor lapangan yang terlibat, antara lain: pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto, Direktur Utama PT Garuda Indonesia Indra Setiawan, dan Sekretaris Chief Pilot Airbus 330 PT Garuda Indonesia Rohainil Aini.

Di samping itu, Kejaksaan juga mendakwa mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN), Muchdi Purwopranjono sebagai penganjur dalam pembunuhan Munir. Akan tetapi, majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonisnya bebas dan Mahkamah Agung menguatkan putusan itu.

Di sisi lain, terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto, yang mendapat hukuman dua tahun penjara mendapatkan remisi Natal selama satu bulan dan remisi umum susulan selama dua bulan. Karena itu, Pollycarpus bebas pada 25 Desember 2006, padahal ia baru bias bebas pada 19 Maret 2007.

Mendengar keputusan tersebut, istri almarhum Munir, Suciwati dan Komite Aksi Solidaritas untuk Kasus Munir (Kasum) merasa kecewa. Mereka mempertanyakan kebijakan pemberian remisi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat itu. Mereka menilai Presiden sangat tidak peka terhadap rasa keadilan masyarakat, sekaligus memicu pertanyaan terhadap komitmen pemerintah menangani kasus ini.

Pembunuhan Terhadap Munir Adalah Pelanggaran HAM Berat

Selanjutnya, Kasum dan berbagai organisasi sipil meminta Komnas HAM untuk menetapkan kasus pembunuhan Munir, sebagai pelanggaran HAM berat dengan dasar Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

โ€œMengingat selama ini kontruksi penanganan kasus pembunuhan Munir, yang sejatinya adalah pembunuhan berencana, di balik itu ada konspirasi jahat,โ€ kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana, dalam konferensi pers pada Kamis, (19/08/21).

Kejahatan terorganisir tersebut melibatkan institusi negara, yang tidak mampu diselesaikan dengan mekanisme hukum pidana biasa. Pada intinya, Kasum menegaskan bahwa pembunuhan aktivis HAM itu adalah bagian dari kejahatan kemanusiaan karena pelanggaran HAM berat dalam kasus Munir telah terpenuhi, (Pasal 7 UU Pengadilan HAM). Pembunuhan tersebut merupakan sebuah serangan yang dilakukan secara sistemik ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, (Pasal 9 UU Pengadilan HAM).

Fakta terungkap di persidangan bahwa BIN terlibat dalam merencanakan dan melaksanakan pembunuhan Munir memenuhi unsur “serangan” sebagaimana dimaksud penjelasan Pasal 9 UU Pengadilan HAM. Tak hanya itu, bahkan dokumen temuan Tim Pencari Fakta Kasus Munir belum dipublikasikan hingga kini.

“Padahal ada klausul yang mewajibkan pemerintah untuk mengumumkan hasil dokumen tersebut,” kata Wakil Koordinator I Kontras Arif Nur Fikri.

Dokumen itu dianggap penting untuk dipublikasikan karena masyarakat dapat mengetahui temuan Tim Pencari Fakta untuk mengungkap perkara ini. Akhirnya, Silang sengkarut urusan hukum atas pembunuhan Munir belum menemui titik akhir hingga hari ini.

Dan, tepat dua minggu terhitung hari ini pada 7 September 2022, kita akan mengenang kematian sang Aktivis HAM. (Red)

Sumber dari berbagai media.