Semester baru perkuliahan di mulai. Seperti biasa, dosen merekomendasikan buku pegangan atau acuan sebagai pengajaran dalam satu semester. Mahasiswa diharap mempunyai buku tersebut. Akan tetapi, salah satu dosen merekomendasikan buku yang harganya lumayan bagi kalangan mahasiswa dan buku tersebut merupakan buku terbitan lama.
Seorang mahasiswa mengeluh pada dosenya karena buku yang direkomendasikan terlalu mahal harganya. Kemudian, sang dosen menyarankan agar mahasiswanya membeli buku bajakan. Hal tersebut jelas membuat saya terkejut. Menurut saya pembajakan buku bukan hal yang patut dinormalisasi, melainkan harus dihindari, bahkan diberantas agar tidak merugikan berbagai pihak.
Sayangnya, tidak setiap orang berpikir demikian. Mahasiswa penurut akan mengindahkan saran si dosen. Seharusnya, dosen mengetahui bahwa membajak buku merupakan bentuk pelanggaran yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Terlebih lagi, kalau saran itu keluar dari mulut dosen fakultas hukum.
Pembajakan buku merupakan upaya menghasilkan keuntungan bagi individu tanpa melindungi hak cipta penulis. Selain itu, merugikan penulis dan beberapa pihak yang kehidupannya dibiayai dari hasil penerbitan dan produksi buku. Terlebih lagi, berdampak pada kreativitas penulis, bahkan membuat penerbit gulung tikar.
Seperti diketahui bersama minat baca warga Indonesia masih dibawah angka rata-rata, hal ini jelas akan berpengaruh terhadap penulis yang karyanya akan sedikit dibaca. Dengan demikian, penulis tidak bisa berharap banyak dari penjualan karyanya. Oleh sebab itu, bagaimana jika buku hanya diminati oleh sedikit orang kemudian buku tersebut dibajak? Bisa pembaca bayangkan bagaimana mirisnya hal ini terjadi.
Menurut Puthut EA, hanya 5% penulis di Indonesia yang benar-benar bisa hidup dari hasil karya tulisnya, sedangkan sisanya harus melakukan pekerjaan lain untuk memenuhi kehidupannya. Hal ini terjadi karena minat baca yang rendah dan maraknya pembajakan buku yang merugikan para penulis dan berbagai pihak.
Dosen merupakan kalangan akademik dan intelektual, maka tidak seharusnya menormalisasi pembajakan buku, apalagi menyuruh mahasiswanya untuk membeli buku bajakan. Terlebih lagi, Dosen itu pernah menerbitkan buku, pasti tahu bagaimana proses pembuatan buku sehingga dapat diproduksi dan dinikmati para pembaca. Penulis pasti tahu berapa banyak ongkos produksi yang dikeluarkan dan berapa banyak pemasukan yang didapat dari hasil penjualan buku. Karena itu, tidak selayaknya dosen sebagai kalangan akademik yang juga penulis menormalisasi pembajakan.
Pengaruh Buku Bajakan
Menurut Utami dalam hasil riset skripsinya yang berjudul Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Preferensi dan Perilaku Membeli Buku Bajakan (2009), menerangkan bahwa penggunaan buku bajakan oleh mahasiswa dikarenakan minimnya buku original yang beredar dan mahalnya buku original yang diinginkan.
Minimnya buku original disebabkan karena para mahasiwa mencari buku lawas, terbitan tahun lama, di mana pihak penerbit sendiri sudah tidak mencetaknya. Para dosen memang biasanya merekomendasikan buku-buku terbitan lama yang lumayan sangat langka, bahkan sudah tidak ada. Hemat saya, dosen seharunya tidak menjadikan satu buku, terlebih buku lama, sebagai acuan, tapi memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk membeli buku yang sesuai, yang masih ada di pasaran.
Kisaran Harga Buku Bajakan
Mahalnya buku original memang menjadi salah satu kendala. Membeli buku bajakan dengan hanya merogoh kocek kisaran harga dua puluh ribu rupiah saja, maka sudah mendapatkan buku yang diinginkan. Berbeda dengan buku original yang perlu merogoh kocek agak dalam, yang nilainya bisa sampai ratusan ribu rupiah hanya untuk satu buku. Sebenarnya, jika kendalanya uang mahasiswa bisa membeli buku bekas original yang harganya lumayan lebih murah. Meskipun demikian, perlu diketahui dampak yang lebih luas dengan membeli buku bajakan. Pembajakan buku memiliki efek destruktif jangka panjang pada akademisi dan kualitas pendidikan.
Jika setiap orang bahkan kalangan akademik menormalisasi pembajakan buku, maka penerbitan akan menjadi tidak produktif dan lambat laun menjadi sektor yang tidak menarik. Selanjutnya, jika penerbitan semakin sedikit atau sudah tidak ada, maka semakin sedikit juga peluang penulis-penulis baru untuk menerbitkan karyanya. Semakin sedikit penulis, semakin sedikit buku yang tercetak.
Penerbit musnah, penulis susah, dan pembaca kehilangan arah.