Novel Perempuan di Titik Nol: Menggugat Budaya Patriaki

Picture of Fahmi Firmansyah

Fahmi Firmansyah

Novel Perempuan di Titik Nol: Menggugat Budaya Patriaki
Nawal dan Novelnya; Perempuan di Titik Nol (foto istimewa)

“Saya tahu bahwa profesi saya telah diciptakan oleh lelaki. Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga tertentu, dan bahwa tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh sang istri. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada menjadi seorang istri yang diperbudak.” (Nawal El Saadawi 2002, hal. 133).

Kutipan di atas merupakan penggalan dalam novel Perempuan di Titik Nol yang ditulis oleh Nawal El Saadawi.Novel ini menjelaskan bagaimana budaya patriaki hadir dan berkembang dalam masyarakat Arab.

Mengisahkan diskriminasi terhadap perempuan tanpa memberikan hak-hak yang patut diterima perempuan selayaknya manusia.

Nawal El Saadawi seorang dokter berkebangsaan Mesir menggambarkan kerasnya perjuangan perempuan untuk mendobrak budaya yang merugikan dan mendiskriminasi perempuan.

Ia menghadirkan sebuah novel yang menceritakan perjuangan perempuan Mesir untuk merebut kedudukan, hak-hak yang sama, dan mendapatkan perubahan nilai serta sikap laki-laki terhadap perempuan.

Tokoh Utama Perempuan di Titik Nol

Perempuan di Titik Nol menceritakan kisah hidup Firdaus sebagai tokoh utama, yang penuh dengan lika-liku menjadi perempuan.

Firdaus lahir dalam keluarga yang sangat patriarkat, “Jika salah satu anak perempuan mati, ayah akan menyantap makan malamnya, Ibu akan membasuh kakinya, dan kemudian ia akan pergi tidur, seperti itu ia lakukan setiap malam.

Apabila yang mati itu seorang anak laki-laki, ia akan memukul ibu kemudian makan malam dan merebahkan diri untuk tidur”.

Seorang laki-laki diberlakukan sebagai individu nomor satu di antara individu-individu lainnya.Dalam strata keluarga Firdaus ayahnya seolah sang raja yang tak peduli pada rakyatnya.

Relasi ini menjelaskan bagaimana adanya ketidak-setaraan dalam lingkungan keluarga.

Hal itu tidak hanya terjadi di lingkungan keluarga, tapi di lingkungan sosial yang menjadikan perempuan sebagai individu nomor dua setelah laki-laki.

Sejak kecil Firdaus terbiasa dengan berbagai kekerasan, mulai dari kekerasan fisik dari ayahnya, sampai kekerasan seksual yang dilakukan Pamannya.

Hal tersebut berdampak terhadap masa dewasa Firdaus, “Saya bukan seorang pelacur. Tetapi sejak semula, Ayah, Paman, suami saya, mereka semua, mengajarkan untuk menjadi dewasa sebagai pelacur”.

Kekerasan terhadap perempuan adalah buah dari patriaki. Seorang lelaki dianggap perlu berbuat kekerasan untuk menyadarkan, memberi pelajaran, dan menasihati seorang perempuan.

Sehingga hal tersebut menjadi hal yang biasa dilakukan lelaki. Lebih parahnya, agama seolah melegitimasi kekerasan terhadap perempuan.

Pada saat Firdaus diperlakukan kasar oleh suaminya, ia pergi ke rumah pamannya untuk memperoleh perlindungan.

“Paman mengatakan kepada saya bahwa semua suami memukul isterinya. Saya katakan, bahwa Paman adalah seorang syeikh yang terhormat, terpelajar dalam hal ajaran agama, dan dia, karena itu, tak mungkin memiliki kebiasaan memukul isterinya. Dia menjawab, bahwa justru laki-Iaki yang memahami agama itulah yang suka memukul istrinya. Aturan agama mengijinkan untuk melakukan hukuman itu”.

Agama seolah menormalisasi kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan, yang dilakukan suami terhadap istri.

Manusia seperti Paman dan suami Firdaus tidak mencerminkan agama yang memberikan kasih sayang, ia mencerminkan agama yang keras dan menakutkan.

Mendobrak Budaya Patriaki

Perjuangan Firdaus dalam mendobrak budaya patriaki sangatlah tidak mudah. Masyarakat sudah termakan dogma akan sulit menerima sesuatu yang sebenarnya.

Firdaus dianggap duri yang dapat menusuk, merusak, dan menghancurkan budaya patriaki hingga ia harus menerima hukuman mati, tapi ia menerimanya dengan bangga.

“Setiap orang harus mati. Saya lebih suka mati karena kejahatan yang saya lakukan daripada mati untuk salah satu kejahatan yang kau lakukan,” Ucapnya ketika ditawari bebas dari hukuman.

Novel Perempuan di Titik Nol ini ditulis dengan indah oleh Nawal, menceritakan kisah dengan apik, membawa kita ikut merasakan emosi para tokoh. Novel ini merupakan bentuk protes akan ketidak-adilan yang ada.