Belakangan ini, saya sering menemukan fenomena yang menarik. Saya analogikan seperti 1 mata koin yang memiliki 2 sisi berbeda.
Misalnya, manusia religius atau yang taat beribadah, tetapi kurang baik dalam hubungan sosial atau sesama makhluk.
Selanjutnya, dalam menentukan pasangannya, manusia ini menginginkan yang juga taat beribadah tak peduli memiliki hubungan baik dengan seksama atau tidak.
Di sisi lain, terdapat manusia tidak taat beribadah atau kurang religius, tetapi cukup baik dalam hubungan sosial.
Untuk tipe manusia ini, dia menginginkan pasangannya peduli terhadap sesama tanpa peduli soal ibadah.
Selanjutnya, saya menemukan sebuah kasus: Seorang ustaz yang berprofesi sebagai guru mengaji diketahui melakukan pencabulan. Ironisnya, pencabulan itu dilakukan kepada keponakannya sendiri.
Di samping kasus itu, ada seorang aktivis yang jarang menunaikan salat lima waktu. Dia salat seminggu sekali, cuma salat jumat doang.
Namun, dia membela hak-hak kaum buruh dan lingkungannya, serta menyisihkan sodakoh dari hartanya secara diam-diam.
Dari dua fenomena itu, kita bisa menilai bahwa masing-masing memiliki nilai kebaikan dan keburukan.
Pertanyaannya, entah sejak kapan manusia membuat poros besar untuk dirinya sendiri, yaitu kebaikan dan keburukan?
Apakah kebaikan dan keburukan adalah fitrah yang sudah dibawa sejak lahir kedunia atau nilai ini muncul semenjak manusia mampu berpikir?
Objektivitas & Subjektivisme
Menurut ilmu etika sebagai cabang filsafat, memandang tindakan manusia ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tindakan objektivisme dan subjektivisme.
Pertama, nilai kebaikan suatu tindakan baru bisa dikatakan objektif jika dilihat dari subtansi tindakan itu sendiri. Paham ini disebut mazhab rasionalisme dalam etika.
Menurut kelompok ini, tindakan baik bukan karena si pelaku senang melakukannya atau sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan atas keputusan rasionalisme universal yang mendorong untuk melakukan tindakan tersebut.
Tokoh utama pendukung aliran ini ialah Immanuel Kant. Di dalam Islam pada batas tertentu, ada kaum Mutazilah yang dikenal sebagai kelompok rasionalis awal dalam Islam.
Madzhab kedua, dalam subjektivisme suatu tindakan disebut baik apabila sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subjek tertentu.Subjek tersebut bisa saja berupa subjektivisme kolektif seperti kelompok tertentu, masyarakat umum, atau ketetapan Tuhan.
Dalam Islam, paham itu direpresentasikan oleh golongan Asy’ariyah. Menurut golongan itu, nilai kebaikan suatu tindakan bukannya terletak pada objektivitas tindakannya, melainkan pada ketaatannya pada kehendak Tuhan. (Makdisi, 2005: 50)
“Bila telah diketahui suatu tindakan itu baik, manusia berkewajiban secara moral untuk melakukannya.” (Misbah, 2006: 51)
Pertanyaannya, apakah bisa hubungan kepada Allah dan hubungan sesama manusia dipisahkan? Lalu, apakah ketika manusia hanya mengambil satu sisi saja akan cacat?
Pendapat Tokoh Islam
Saya teringat jawaban Imam Syafiโi dalam ceramah Habib Abdullah Rifky Alaydrus.
Suatu ketika Imam Syafiโi ditanya oleh muridnya: “Ada orang ahli ibadah tapi kelakuannya kurang baik, sementara ada orang yang baik tapi tidak ibadah, yang mana yang baik?” tanya si murid.
Jawabam Imam Syafaiโi: Keduanya baik. Pertama, orang yang ahli ibadah akan diberi hidayah oleh Allah, sehinga ahli ibadah itu menjadi orang yang baik.
Sedangkan, orang baik tidak ibadah, Allah beri hidayah, kemudian menjadi ahli ibadah. Yang bahaya adalah orang yang lebih pandai menilai orang lain dibanding menilai dirinya sendiri.Saya teringat juga pendapat lain yang berkaitan. Tokoh modern umat Islam Indonesia, Gus Baha menyampaikan dalam ceramahnya yang tersebar di kanal Youtube tentang sorang ahli ibadah dengan seorang penzina.
Kata Gus Baha, kita tidak pernah tahu manusia itu akan berubah dari keburukkan menjadi kebaikkan sebab masa depan yang gaib tidak ada yang tahu, tidak tahu pastinya kok bertengakar ingin menghukumi.
Penulis: Ari Fahudallah Semidang