Mengenal Perkara Legitimasi

Picture of Fahmi Firmansyah

Fahmi Firmansyah

Mengenal Perkara Legitimasi
Ilustrasi foto Majelis Hakim/ Faktual24 foto/ Ivan.

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah memutuskan bahwa ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman diberhentikan dari jabatannya sebagai ketua MK.

Pasalnya, Anwar Usman melakukan pelanggaran sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama prinsip ketakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan, prinsip independensi, dan prinsip kepantasan dan kesopanan.

Anwar Usman merupakan paman dari Gibran Rakabuming, ia dianggap membuka jalan Gibran yang berusia 36 tahun sebagai calon wakil presiden Prabowo Subianto lewat putusan batas usia capres-cawapres.

Putusannya menjadi legitimasi majunya Gibran menjadi calon wakil presiden. Setelah putusan MKMK beberapa pihak kemudian menanyakan kembali legitimasi Gibran karena dianggap putusan MK terkait batas usia capres-cawapres mempunyai konflik kepentingan (conflict of interest).

Pakar hukum tata negara Denny Indrayana menyebut Gibran Rakabuming sebagai cawapres hasil putusan tak beretika.

Legitimasi Gibran melaju sebagai wakil cawapres Prabowo dianggap tidak sah karena melalui putusan yang tidak beretika.

Lalu, apakah legitimasi itu?

Legitimasi adalah keabsahan kekuasaan. Untuk memperoleh kekuasaan, seseorang perlu mendapat keabsahan. Keabsahan adalah istilah normatif.

Mempertanyakan keabsahan wewenang berarti kita memperbandingkan wewenang dengan suatu norma: apabila sesuai dengannya, maka wewenang itu sah, apabila tidak, wewenang itu tidak sah. (Franz Magnis-Suseno, 1987).

Sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang berhak untuk menuntut ketaatan, jadi berhak unutuk memberikan perintah.

Bochenski memberikan rumusan sebagai berikut; “T memiliki wewenang deontis (yang harus) bagi sekelompok orang dalam wilayah wewenangnya, apabila semua atau sekurang-kurangnya kebanyakan anggota kelompok itu mengakui wewenang itu.”

Oleh sebab itu, pentingnya legitimasi bagi seseorang untuk melakukan kekuasaan dan wewenangnya.

Objek legitimasi salah satunya adalah legitimasi subjek kekuasaan. Legitimasi subjek kekuasaan mempertanyakan apa yang menjadi dasar wewenang seseorang atau sekelompok orang untuk memegang kekuasaan negara dan mengatur masyarakat.

Macam-Macam Legitimasi

Pada prinsipnya, terdapat tiga macam legitimisasi subjek kekuasaan:

Pertama, Legitimasi religius, mendasarkan hak untuk memerintah pada faktor-faktor yang adiduniawi, jadi bukan pada kehendak rakyat atau pada suatu kecakapan empiris khusus penguasa.

Legitimasi religius adalah kekuasaan yang berasal dari Tuhan secara langsung yang diperoleh dengan cara-cara adiduniawi.

Kedua, Legitimasi elite, mendasarkan hak untuk memerintah pada kecakapan khusus suatu golongan untuk memerintah.

Paham legitimasi itu berdasarkan anggapan bahwa untuk memerintah masyarakat diperlukan kualifikasi khusus yang tidak dimiliki oleh seluruh rakyat.

Menurut legitimasi elite, masyarakat tidak berhak dan tidak mampu untuk menentukan nasibnya sendiri sehingga diperlukan orang-orang yang ahli untuk mengaturnya.

Ketiga, legitimasi demokratis, mendasarkan hak memerintah melalui prinsip kedaulatan rakyat. Artinya, dalam legitimasi demokratis, rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.

Karena itu, diperlukan kriteria-kriteria untuk menilai keabsahan suatu wewenang atau kekuasaan.

Pada prinsipnya ada tiga kemungkinan kriteria legitimasi: legitimasi sosiologis, legalitas, dan legitimasi etis. Akan tetapi, dalam tulisan ini hanya akan dibahas kriteria legalitas saja.

Kata legal berarti sesuai dengan hukum. Suatu tindakan adalah legal apabila dilakukan sesuai dengan hukum atau peraturan yang berlaku.

Legalitas adalah kesesuaian dengan hukum yang berlaku; salah satu kemungkinan kriteria bagi keabsahan wewenang; menuntut agar wewenang dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Suatu tindakan adalah sah apabila sesuai, tidak sah apabila tidak sesuai dengan hukum yang berlaku.

Lalu, apakah legalitas merupakan tolak ukur paling fundamental bagi keabsahan wewenang politis? Tidak, karena legalitas hanya dapat memperbandingkan suatu tindakan dengan hukum yang berlaku, selalu sudah diandaikan keabsahan hukum.

Sehingga hukum sendiri perlu dicek legalitasnya? Apakah pembuatan hukum itu legal atau ‘sesuai dengan hukum’ yang berlaku?

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa polemik batas usia wakil presiden yang dianggap secara etis cacat perlu ditinjau kembali untuk menjadi dasar legitimasi kekuasaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar kekuasaan.