Risiko Over Kredit Kendaraan Bermotor di Bawah Tangan

Picture of Redaksi

Redaksi

Risiko Over Kredit Kendaraan Bermotor di Bawah Tangan
Ilustrasi perjanjian kredit kendaraan bermotor (foto istimewa)

Di era modern saat ini, masyarakat menjadikan kendaraan bermotor seperti mobil dan sepeda motor sebagai kebutuhan alat tranportasi untuk berpergian.

Untuk memenuhi kebutuhan itu, kebanyakan masyarakat membeli kedaraan dengan cara kredit atau mencicil kepada pihak bank/leasing.

Di sisi lain, saat masyarakat memakai metode kredit, kadang kala proses kredit tersebut tidak dijalankan sampai tuntas. Jika hal itu terjadi, masyarakat kerap mengalihkan kendaraan termasuk angsuran kreditnya ke pihak lain.

Masalahnya, masyarakat tidak mengikuti prosedur saat melakukan pengalihan kendaraan kredit atau sering disebut (over kredit), sehingga menimbulkan risiko di kemudian hari.

Pengertian Over Kredit

Over kredit adalah proses transaksi jual dan beli kendaraan yang statusnya masih belum lunas.

Over kredit secara sederhana merupakan proses pemindahan status kepemilikan kendaraan dari pihak pengkredit (pihak kedua) kepada penerus kredit, yang melanjutkan angsuran (pihak ketiga), sementara penyedia kendaraan kredit, bank/leasing sebagai (pihak pertama).

Jika transaksi itu terjadi, pihak kedua akan mendapat sejumlah uang sebagai kompensasi, bisa berupa uang tunai pengganti Down Payment (DP) dan angsuran yang telah dibayarkan.

Biasanya, over kredit dilakukan lantaran pihak kedua memiliki hambatan pembayaran di tengah jalan atau ingin membeli kendaraan dengan model terbaru.

Namun, saya mengingatkan bahwa over kredit bisa menjadi perkara melanggar hukum. Seandainya, hal itu dilakukan tanpa sepengetahuan dan seizin pihak pertama. Praktek itu biasanya disebut over kredit di bawah tangan.

Jika praktek itu dilakukan, tetapi tetap berkendala dikemudian hari, maka pihak kedua masih sepenuhnya bertanggungjawab atas kendaraan kredit yang sudah berpindah tangan ke pihak ketiga.

Artinya, pihak pertama akan tetap menagihan angsuran kepada pihak kedua atau meminta unit kendaraan dikembalikan.

Konsekuensi Hukum Over Kredit di Bawah Tangan

Secara hukum over kredit di bawah tangan atau tanpa sepengetahuan pihak pertama dapat dilaporkan secara pidana ke kepolisian dan menggugatnya secara perdata ke Pengadilan. Terlebih lagi, jika kendaraan kredit tidak bisa dikembalikan.

Dengan begitu, pihak kedua bisa dituduh sebagai penggelap kendaraan dan pihak ketiga sebagai penadah.

Kasus itu bersinggungan denga pasal 372 KUHP tentang Penggelapan. Adapun hukumannya, pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu.

Berkaitan pula pada pasal 36 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dengan ancaman pidana paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp50 juta.

Selain itu, berkaitan pasal 480 KUHP tentang Penadahan dengan ancaman pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak Rp900 ribu.

Jika larangan over kredit di bawah tangan tertera pada klausul perjanjian, maka pihak pertama bisa menggugat secara perdata di Pengadilan dengan dasar perbuatan melawan hukum menurut pasal 1365 KUHPerdata, yang berbunyi:

“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebutโ€.

Termasuk melayangkan gugatan wanpretasi (lalai dalam memenuhi kewajibannya).

Saran saya agar masyarakat menghindari proses over kredit, apalagi di bawah tangan. Kalau pun hal itu terpaksa dilakukan maka libatkanlah pihak pertama dalam prosesnya dan mengikuti prosedur yang sudah ditetapkan.

Penulis: Abdul Rohman