Kejahatan adalah Budaya Manusia

Redaksi

Redaksi

Kejahatan adalah Budaya Manusia
Ilustrasi kejahatan adalah budaya manusia (Ivan/Faktual24)

Akhir-akhir ini, aku sering berpikir kenapa keadilan sosial tidak pernah terwujud, padahal manusia sudah begitu lama hidup di bumi.

Kenapa masih saja ada si miskin dan si kaya; bawahan dan atasan; si kuat dan si lemah; serta si pintar dan si bodoh?

Kenapa banyak orang pintar, tapi tidak menghasilkan perubahan yang signifikan di dalam kehidupan masyarakat?

Pertanyaan-pertanyaan itu seperti tak menemukan jawabannya!

Menurutku penyebabnya adalah mayoritas prilaku diabolisme intelektual yang serupa penjahat jalanan, bahkan lebih kejam. Perbedaan keduanya hanya ‘cara’ saja.

Misalnya, penjahat jalanan menjalankan aksinya dengan kasar dan brutal, bermodalkan senjata tajam.

Sementara senjata diabolisme intelektual menggunakan ‘sistem’, terstruktur dan rapih. Mereka mengubah sistem yang kemudian memiliki pengaruh besar bagi kehidupan masyarakat.

Selanjutnya, sistem itu dipakai untuk mencapai kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Contohnya, membohongi masyarakat, kebal terhadap hukum, hingga bisa membunuh dengan dasar keadilan atau keseimbangan negara.

Dari realita itu, aku berefleksi atas percakapan Tuhan denga malaikat:

“mengapa Tuhan menciptakan manusia yang saling menumpahkan darah, membuat kerusakan dibumi?”.

Selain itu, kisah Nabi Adam AS, manusia yang dipercaya Tuhan sebagai khalifah/pemimpin di bumi. Yang kemudian, Adam bersama Istrinya Hawa dihukum, diturunkan ke bumi karena memanmkan buah khaldi.

Pertanyaan, mengapa mereka menerima hukuman itu, padahal Adam sudah ditetapkan sebagai pemimpin

Aku tidak ingin membahas tentang teori penghukuman. Tapi, mari kita bicara, apakah salah satu potensi terbesar manusia adalah ‘kejahatan’?

Pasalnya, kejahatan sudah muncul jauh sebelum disiplin ilmu pengetahuan kriminolog lahir, ‘a king without a country‘.

Manusia seperti Serigala

Thomas Hobbes, seorang filsuf Inggris pernah berkata: ‘Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya’.

Ungkapan itu sebagai gambar situasi masyarakat yang penuh persaingan dan peperangan.

Karena itu, siapapun bisa menjadi musuh. Setiap manusia berpotensi memakan atau mengorbankan manusia lainnya.

Semua itu dilakukan, demi tercapainya kepentingan manusia itu sendiri, Bellum omunium contra omnes (perang semua melawan semua).

Menurut penulis kejahatan akan terus hidup meskipun dihancurkan sebab tidak ada yang konstan di muka bumi ini. Karena itu, hari akhir menawarkan atau menjanjikan hal yang konstan.

Dari pembahasan ini, penulis menyarankan agar para pembaca menjadi pribadi yang ‘kuat’.

Sebab secara sadar atau tidak, kita hidup memakai ‘hukum rimba’. Artinya, siapa kuat atau pemenang, maka dialah yang berkuasa.

Penulis: Kabut