Dirty Vote merupaka film dokumenter yang disampaikan oleh tiga ahli hukum tata negara. Mereka adalah Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.
Film itu mengungkap berbagai penyalahgunaan kekuasaan dalam kontestasi Pemilu sekaligus merusak tatanan demokrasi.
Penggunaan infrastruktur kekuasaan yang kuat, tanpa malu-malu dipertontonkan secara telanjang demi mempertahankan status quo. Bentuk-bentuk kecurangannya diurai dengan analisa hukum tata negara.
Film dibuka dengan pernyataan-pernyataan Presiden Jokowi yang ikonsisten. Pasalnya, apa yang dulu Jokowi katakan bertolak-belakang dengan apa yang hari ini terjadi. Salah satunya Jokowi berkata, “Kedua anak saya belum punya minat politik.” realitanya, tidak demikian.
Menurut Zainal Arifin Mochtar, pertarungan pemilu seringkali melahirkan dikotomi antara pro status quo dan pro perubahan.
Hal ini dapat kita lihat bagaimana para paslon memiliki gagasan yang berbeda-beda. Ada Paslon menggaungkan gagasan keberlanjutan dan ada yang menggaungkan gagasan perubahan.
Menurut saya, film ini menggambarkan ketakutan salah satu paslon akan terjadinya dua putaran pemilihan.
Pasalnya, jika terjadi dua putaran kekuatan pengkritik akan bersatu dan akan merugikan salah satu pihak. Dalam film tersebut dicontohkan dengan kasus pemilihan gubernur Jakarta.
Ketidak-berpihakan aparat negara digambarkan dengan data dan fakta yang ada di lapangan dan dengan contoh-contoh kasus yang telah terjadi.
Mulai dari gubernur sampai dengan aparat pemerintah desa seakan telah di setting untuk memenangkan salah satu Paslon tertentu.
Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah dengan menggunakan aparat pemerintahan kemenangan dapat dipastikan?
Dalam sistem demokrasi suara rakyat adalah suara Tuhan. Artinya, rakyat dapat menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin dengan hasil perolehan suara terbanyak.
Intimidasi Instansi Pemerintah
Akan tetapi, peran pemerintah daerah sangatlah penting, misalnya dalam pemberian izin kampanye dan program-program lainnya yang dianggap menguntungkan rakyat, menguntungkan salah satu paslon, dan merugikan salah satu paslon.
Oleh sebab itu, pemerintah daerah dapat menjadi penentu kemenangan salah satu paslon sehingga sangat penting bagi pemerintah tetap netral dalam pemilihan ini.
Selain itu, film ini menggambarkan adanya tekanan terhadap aparat desa untuk mendukung salah satu paslon tertentu.
Hal ini membuat aparat desa dilema. Di satu sisi,.mereka harus tetap netral. Di sisi lain, mereka diharuskan mendukung salah satu paslon tertentu.
“Dalam pertarungan gajah, seringkali rumput yang terinjak-injak.”
Film ini membuka mata berbagai pihak dan menyadarkan bahwa banyak kejanggalan yang terjadi dalam negeri ini.
Contohnya, mundurnya demokrasi digambarkan dengan kejanggalan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara batas usia capres-cawapres.
Sikap Penyelenggara Pemilu
Sementara, penyelenggara Pemilu yang inkompeten digambarkan dengan peran Bawaslu yang tidak bertindak tegas terhadap berbagai pelanggaran-pelanggaran. Dan, peran KPU yang dianggap tidak netral.
Keberpihakan presiden terhadap salah satu paslon dikupas dalam film ini berdasarkan data dan analisa pendukung sehingga argumen ketiga narasumber dapat dipertanggung-jawabkan.
Saya menyarankan pembaca untuk menonton film ini dengan pikiran terbuka.
Jika pembaca adalah pendukung salah satu paslon dan tidak sepakat dengan apa yang dikemukan ketiga narasumber. Pembaca dapat melakukan penelurusan lebih dalam terkait data dan analisa para narasumber untuk membuktikan kebenaran argumen tersebut.
Saran saya, jangan menjadi pemilih yang fanatik dan tidak mau dikritik.
Jika ada kesalahan atau pembaca tidak sepakat terhadap apa yang disampaikan dalam argumen film tersebut.
Silahkan pembaca buktikan, kemudian jadikan pegangan.
Pembaca jangan menuduh yang tidak-tidak dan menilai sesuatu tanpa mengetahui lebih dalam sesuatu tersebut.